Skip to main content

Mengapa Konsumen Mati Gaya Meski Perekonomian Indonesia Tumbuh 5%?!

By: Johan Supriyanto, S.Kom. - Agustus 15, 2025

Data terbaru menunjukkan perekonomian Indonesia tumbuh solid di kisaran 5 persen, sebuah angka yang patut diapresiasi di tengah gejolak ekonomi global. Namun, paradoks muncul ketika optimisme pertumbuhan makroekonomi ini tidak sepenuhnya tercermin dalam perilaku konsumsi rumah tangga. Mengapa konsumen di Indonesia terasa "mati gaya" atau cenderung menahan diri dalam berbelanja, meskipun angka pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) terlihat menjanjikan? Mari kita bedah lebih dalam fenomena ini.

Mengapa Konsumen Mati Gaya Meski Perekonomian Indonesia Tumbuh 5%?!

Pertumbuhan Ekonomi Bukan Satu-satunya Indikator Kesejahteraan

Angka pertumbuhan PDB 5% memang menunjukkan peningkatan produksi barang dan jasa secara agregat. Namun, angka ini kerap kali tidak menggambarkan distribusi kekayaan dan kualitas pertumbuhan secara merata. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum tentu berarti peningkatan pendapatan riil yang signifikan bagi seluruh lapisan masyarakat. Jika pertumbuhan hanya dinikmati oleh segelintir sektor atau kelompok tertentu, maka daya beli mayoritas masyarakat mungkin tidak meningkat seiring dengan pertumbuhan PDB. Ini menciptakan kesenjangan yang membuat sebagian besar konsumen tetap berhati-hati dalam pengeluaran.

Ancaman Inflasi dan Penurunan Daya Beli Riil

Salah satu pemicu utama "mati gaya" konsumen adalah tekanan inflasi yang masih terasa. Meskipun inflasi berhasil dikendalikan oleh Bank Indonesia, kenaikan harga kebutuhan pokok dan jasa-jasa tertentu di level konsumen masih terus menggerogoti daya beli masyarakat. Ketika pendapatan mungkin saja meningkat, namun jika kenaikan harga (inflasi) lebih tinggi, maka pendapatan riil (pendapatan disesuaikan inflasi) justru menurun. Akibatnya, masyarakat cenderung memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan esensial dan menunda pembelian barang-barang diskresioner, seperti elektronik baru, renovasi rumah, atau liburan.

Hantu Suku Bunga Tinggi dan Beban Utang

Kebijakan moneter yang ketat dengan suku bunga acuan yang tinggi juga turut membebani konsumen. Suku bunga yang tinggi bertujuan untuk mengendalikan inflasi, namun di sisi lain membuat biaya pinjaman (kredit konsumsi, KPR, kredit kendaraan) menjadi lebih mahal. Konsumen menjadi enggan mengambil utang baru untuk membiayai pembelian besar. Bagi mereka yang sudah memiliki utang, cicilan yang lebih tinggi mungkin menyerap sebagian besar pendapatan yang seharusnya bisa digunakan untuk konsumsi lainnya. Ini secara langsung mengurangi kemampuan belanja rumah tangga dan mendorong mereka untuk lebih fokus pada pelunasan utang ketimbang berbelanja.

Ketidakpastian Global dan Kehati-hatian Konsumen

Meskipun ekonomi domestik menunjukkan resiliensi, ketidakpastian ekonomi global masih menjadi bayang-bayang. Konflik geopolitik, perlambatan ekonomi negara-negara mitra dagang utama, dan fluktuasi harga komoditas global menyebabkan konsumen lebih berhati-hati. Adanya rasa tidak aman terhadap prospek pekerjaan, stabilitas pendapatan, atau potensi krisis ekonomi di masa depan, mendorong masyarakat untuk menghemat dan membentuk dana darurat. Sikap "menahan diri" ini merupakan respons alami terhadap lingkungan yang tidak pasti, di mana menabung dianggap lebih bijak daripada berbelanja impulsif.

Pergeseran Prioritas dan Pola Belanja

Selain faktor makroekonomi, ada pula pergeseran dalam prioritas dan pola belanja konsumen. Generasi muda, misalnya, mungkin lebih mengutamakan investasi pada pengalaman (wisata, konser) atau aset jangka panjang (pendidikan, aset digital) daripada konsumsi barang fisik secara berlebihan. Selain itu, kesadaran akan keberlanjutan dan nilai produk juga menjadi pertimbangan, membuat konsumen lebih selektif dan tidak mudah tergiur diskon. Perusahaan juga perlu beradaptasi dengan perubahan perilaku ini.

Dampak pada Konsumsi Rumah Tangga

Seluruh faktor di atas bermuara pada satu titik: perlambatan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama perekonomian Indonesia. Ini bukan berarti konsumen berhenti berbelanja, namun lebih kepada perubahan prioritas dan volume belanja. Pengeluaran bergeser dari barang-barang sekunder atau mewah ke kebutuhan primer.

Kesimpulannya, pertumbuhan PDB yang solid adalah kabar baik, namun tidak selalu identik dengan peningkatan daya beli dan optimisme konsumsi di tingkat individu. Tekanan inflasi pada harga kebutuhan pokok, beban suku bunga tinggi, ketidakpastian global, serta pergeseran prioritas belanja menjadi alasan mengapa konsumen Indonesia merasa "mati gaya". Pemerintah dan pelaku usaha perlu memahami kompleksitas ini untuk merancang kebijakan dan strategi yang tidak hanya mendorong pertumbuhan PDB, tetapi juga meningkatkan pendapatan riil, daya beli, dan kepercayaan konsumen secara berkelanjutan.

Silahkan tuliskan komentar anda sesuai dengan topik pada postingan ini.
Buka Komentar
Tutup Komentar